-ahsanta-

Foto saya
Indonesia
-Muslimah Peach Insya Allah-
Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Selasa, 20 Mei 2008

--Menikah Tanpa Tapi--




--Menikah Tanpa Tapi--

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS.24:32)

Berbicara tentang menikah, sangat sensitif bagi ikhwah fillah yang sedang menunggu belahan hatinya datang. Sementara umur semakin bertambah, keinginan untuk menikahpun sudah semakin tak bisa ditahan lagi. Apalagi belahan hati itu tidak juga kunjung datang menyapa, sudah tentu hati hanya resah gelisah menantinya.

Jodoh memang rahasia Allah swt, tetapi kita tetap dituntut berdo’a dan ikhtiar agar Allah berkenan mendekatkan jodoh kita disaat hati rindu menikah. Memang selalu menjadi bahasan yang menarik berbicara tentang menikah. Alaa kulli hal, kita tetap selalu istiqomah dijalanNya, semoga Allah memberikan kita semua jodoh yang sebaik-baiknya.

Banyak hambatan dan halangan untuk menuju sebuah kebaikan itu, ada aral melintang yang kita harus siap menghadapinya. Jangan sampai kita kalah sebelum berperang, karena takut akan halangan itu kita lantas sama sekali tidak mau mencoba melakukan kabaikan itu. Begitu juga dengan menikah, sebuah kebaikan yang jika kita belum bisa menunaikannya berarti kita belum bisa menunaikan islam ini secara kaffah(menyeluruh), karena banyak amalan-amalan yang tidak bisa kita kerjakan selain dengan menikah terlebih dahulu, seperti memberi nafkah isteri dan anak, mendidik isteri dan anak, memberikan hak isteri dan anak, pahala jima’, menghapus dosa-dosa yang tiada bisa dihapus kecuali dengan peluh keringat mencari nafkah untuk keluarganya, dan masih banyak lagi amalan yang tidak bisa kita kerjakan sebelum kita terlebih dahulu menikah, atau apakah kita mau menjadi hamba yang kehilangan kesempatan berbuat kebaikan?

Hidup ini pun sebenarnya belum hidup yang senyatanya bagi mereka yang belum menikah. The real life adalah hidup dimana setelah kita menikah. Dimana semakin hari beban hidup kita semakin bertambah, semakin hari usaha kita semakin keras karena semakin bertambah amanah yang kita emban, seperti bertambahnya jundi-jundi dari rahim isteri kita, berarti kita juga harus siap menambah nafkah kita untuk keluarga, dan itu berarti kita harus berusaha lebih keras lagi, berjuang lebih keras lagi. Kita sekarang bisa saja makan dimanapun dan kapanpun dengan makanan seadanya, namun ketika kita sudah menikah maka hal ini tidak bisa lagi seperti dulu, bila kita tidak bisa makan dirumah, mungkin sebagian dari kita harus memberi tahu dulu isteri dirumah bahwa malam ini kita tidak bisa makan dirumah, kalau kita tidak memberi tahu barangkali isteri dirumah sudah menyiapkan masakan terenaknya untuk kita, menunggu kita pulang, bahkan sampai larut malam, dan makananpun sudah terlalu dingin hanya karena menunggu kita.

Tetapi sebelum menuju sebuah jenjang pernikahan, kita tentunya sudah mempunyai seseorang yang akan menikah dengan kita, katakan itu calon jodoh kita, kan kalau belum sampai jenjang pernikahan seseorang itu belum bisa dikatakan jodoh kita, jodoh kita ya seseorang yang secara syar’i sah menjadi isteri atau suami kita, bukan begitu? Sebelum mendapatkan seorang yang siap menjadi pasangan hidup kita tentunya kita harus melalu proses perkenalan atau ta’aruf.

Berbicara masalah ta’aruf, bagaimana sebenarnya proses ta’aruf itu? Bagaimana perkenalan yang sesuai syari’at dan yang menyalahi syari’at? Perkenalan itu haruslah tidak melanggar apa yang dilarang oleh Allah swt. Tidak mengundang murkaNya, sebagaimana kita semua tahu tidak ada pacaran sebelum menikah, lantas ada seorang teman yang mempunyai sebuah pertanyaan nyeleneh, ‘bagaimana kalau tidak pacaran tapi punya pacar?’ pertanyaan ini sudah terjawab oleh al Qur’anul Kariim, wa laa takhrobuz zina, janganlah mendekati zina…

Meninjau sejenak tentang pacaran, banyak keluarga di negara barat yang kandas ditengah jalan karena mereka merasa sudah tidak bisa lagi mempertahankan rumah tangga itu, sudah tidak sama-sama cocok lagi, padahal mereka dulu sebelum menikah sudah ada yang sangat lama pacaran, bahkan sampai bertahun-tahun, yang katanya sudah sama-sama saling mengenal, sudah sama-sama sangat cocok, tetapi apa kenyataannya? Sungguh pacaran tidak menjamin bisa menjadi media saling mengenal yang baik, sehingga merasa rumah tangga yang akan dibangun nantinya akan berdiri kokoh.

Selain itu dengan pacaran setelah sekian lama dan telah berkorban hati, tenaga, dan juga fisik, belum menjamin dua hati itu nantinya akan lanjut ke jenjang pernikahan, ada yang hanya untuk senang-senang, meluapkan hawa nafsu setelah puas kemudian ditinggal begitu saja. Tentunya sangat merugikan pihak wanita dalam hal ini, bagaimana nantinya dengan laki-laki yang akan menjadi suaminya kelak? Dia kebagian apa dari diri wanita itu? Sudah tidak ada lagi yang tersisa dari dirinya, ‘afwan-‘afwan, kesucian tangannya telah dinodai laki-laki lain yang menjadi pacarnya dulu, bibirnya sudah tidak lagi virgin, pipinya, dan bahkan ada yang sampai ‘itu’ nya sudah tidak virgin lagi, sudah diserahkan pada pacarnya yang telah lalu, lalu untuk seorang laki-laki yang akan menjadi suami kita kelak disisakan apa? Dan masih banyak lagi dampak buruk dari pacaran.

Yaa ayyuhal ikhwah, marilah kita perteguh lagi iman ini, kita perkuat lagi ketakwaan ini, kita istiqomah dijalanNya, kita bersabar sampai tiba saatnya kita merasakan kemanisan cinta dari belahan hati kita nantinya, cinta yang begitu ranum, dan halal untuk kita. Islam yang mulia ini telah mengatur bagaimana kita mengenal seseorang untuk menjadi pasangan hidup kita, ta’aruf yang banar-benar sesuai dengan syari’at yang mulia ini. Hendaknya orang yang menyampaikan berita itu seorang yang hadatsani tsiqqoh (yang menyampaikan orang yang dipercaya). Lalu apakah hanya sekedar smsan dengan yang bukan mahramnya juga tidak boleh? Coba tanyakan pada diri kalian, jika isteri kalian asyik smsan dengan laki-laki lain, apa kalian tidak cemburu atau bahkan sangat marah? Sungguh Allah lebih cemburu dari kita yaa ikhwah, Allah sangat cemburu jika ada hambaNya yang melebihi dalam bergaul antara sesama laki-laki dan perempuan.

Sebuah matan hadits, jika datang seorang yang kalian ridha agama dan akhlaknya maka nikahkanlah maka jika tidak akan terjadi kerusakan dimuka bumi (al hadits, shahih). Kemudian apa ukuran baik agamanya itu? Apa shalat 5 waktu ke masjid? Sebagian ada yang merasa cukup dengan hal ini, sebagian lagi ada yang ingin lebih, misal dia harus terbiasa ikut kajian, dan ada yang mencukupkan pada hal ini, tapi ada juga yang ingin lebih dari itu, misal dia minimal hafal 15 juz al Qur’an, ada lagi yang merasa kurang, dia harus hafal minimal 100 hadits, ada lagi yang ingin lebih dari itu, dia harus bisa berbahasa arab dengan baik.

Dan semua itu tidak salah, tergantung kita apakah kita ridha dengan agamanya atau itu masih belum cukup bagi kita. Dan sungguh yaa ikhwah, jangan pernah membohongi kata hatimu sendiri, dimana pertama kita sudah sangat ridha dengan agamanya, tapi setelah kita melihat wajahnya tidak sesuai dengan apa yang kita harap, kekayaannya tidak seberapa, apalagi dia dari keturunan yang biasa saja, kemudian kita urung menerimanya, ingatlah hadits Rasulullaah saw, menikah karena agamanya (lidiiniha), maka sungguh kalian akan bahagia, sedangkan karena kecantikannya (lijamaliha), karena hartanya (limaaliha), karena keturunannya (linasabiha), semua itu hanya bersifat duniawi dan sementara. Dan sesungguhnya kesenangan akhirat itu lebih kekal dari pada kesenangan duniawi yang sementara ini.

Lalu apa kerusakan di dunia itu? Wanita yang berumur 20 tahunan biasanya mempunyai standar akan lelaki yang mau menjadi suaminya kelak dengan ‘siapa dia?’, mereka merasa dirinya lebih dari seseorang lelaki yang mengajaknya menikah itu, dia tidak selevel dengan kita, serba banyak kriteria, beberapa pinangan ia tolak karena ia merasa itu tidak pantas untuknya, wanita terewel lah usia segini, sampai-sampai usianya bertambah dan bertambah hingga usia 23an tahun, standar nya pun kini menurun, ‘siapa saya?’, sekarang dia merasa tidak pantas dengan pinangan laki-laki yang datang, sampai berkali-kali karena tidak merasa pantas ia kehilangan harapan, sampai umurnya menjadi 26an tahun, sekarang standar nya pun semakin turun, ‘siapa saja’. Siapa saja yang meminangnya tak masalah, yang penting bisa menikah, belum tentu laki-laki yang akan menjadi suaminya sekarang lebih baik dari yang pernah meminangnya dahulu, tetapi apa mau dikata? Kesempatan itu sudah tiada lagi,sedangkan jika mau menolak lagi, belum tahu ajakan untuk menikah itu kapan lagi akan datang sementara umurnya sudah semakin bertambah, bahkan ada yang sudah berkepala 3 atau mungkin berkepala 4 belum kunjung menikah.

Hendaknya kita juga jangan lupa akan persiapan-persiapan sebelum menikah, seperti siap mental, siap ruhiyah kita, siap menerima amanah, siap ekonomi. Dari pengalaman melihat keluarga seorang teman kuliah yang sudah menikah, mulai dari mainan yang berserakan dilantai, rengekan yang membisingkan telinga, ruangan yang hampir atau bahkan sangat berantakan, anak kecil yang buang air kecil dimana-mana, lalu ia menjadi takut untuk menikah. Yaa ikhwah, jangan takut, semua itu besar pahalanya bagi kita, tengoklah keluarga-keluarga muslim yang telah berhasil membina rumah tangga meski usia mereka masih muda, beban hidup mereka sangat banyak, tetapi mereka mampu membangun segalanya secara bersamaan, seorang aktivis dahwak ia masih kuliah tetapi ia juga telah menikah, hingga ia berhasil wisuda dengan hasil yang memuaskan dan juga ia berhasil mempunyai sebuah keluarga, itu baru luar biasa, berbeda dengan mereka yang bisa kuliah kemudian lulus dengan hasil cumlaude, dan hanya ini yang ia bisa bangun, itu hal yang biasa, karena ia tidak memiliki beban hidup yang lain.

Bahkan ada seorang mahasiswi UGM, seorang aktivis, seorang murabbi, menikah dengan seorang ikhwan satu universitas, karena tidak siap mengemban amanah, takut menerima amanah, sampai ia berani berlaku nuzyuz pada suaminya, 2 tahun ia tidak bersedia berhubungan badan dengan suaminya, astaghfirullaahal’adziim, sampai seperti itunya, sungguh kasihan kan dengan yang ikhwan itu? Ada yang merasa memiliki 2 orang anak sudah cukup, tapi sungguh lebih baik lagi jika mempunyai 3 orang anak, lebih baik lagi mempunyai 4 orang anak, lebih memuaskan mempunyai 5 orang anak, sangat memuaskan mempunyai 6 orang anak, istimewa mempunyai 7 orang anak, mumtaz mempunyai 8 orang anak, dan seterusnya, hehe, wah penulisnya ingin punya banyak anak ni, aaamiin, alhamdulillah.

Itulah salah satu contoh kenapa the real life itu setelah seseorang menikah, disaat dia dikaruniai seorang anak, dia masih belum begitu berat bebannya, begitu dikaruniai 2 atau 3 atau bahkan 4 orang anak, maka ia semakin berat beban amanahnya, dengan begitu ia akan semakin gigih mencari nafkah, semakin kerja keras menghidup keluarganya dengan peluh keringatnya, inilah yang sebenar-benarnya hidup. Ia mampu melaksana islam secara kaffah, dengan mendidik anak dan isteri, mencari nafkah, dll.

Jika di antaka kalian mampu untuk menikah maka menikahlah, sesungguhnya menikah itu lebih menjaga pandangan dan kemaluan. Pengertian mampu (al ba’ah), dalam kalimat tersebut, ada beberapa pandangan dari ulama. Ada yang mengatakan mampu disini adalah mampu dalam hal berhubungan suami isteri, ada juga ulama yang mengartikan mampu dalam artian mampu dalam hal biaya, tetapi pendapat yang paling kuat kata mampu disini adalah mampu dalam hal memberi nafkah, siap bekerja keras. Lalu apakah lantas kita harus mempunyai pekerjaan tetap? Bukan begitu yaa ikhwah. Sebagian dari kita mengartikan pekerjaan tetap adalah bekerja dengan patokan waktu, dari jam sekian sampai sekian, dikantor, ada juga yang harus memakai seragam kerja, bersepatu, dengan penghasilan tetap setiap bulannya. Banyak diantara saudara kita yang mencari nafkah dengan memanfaatkan setiap kesempatan dan peluang halal yang ada untuk mengais rejeki. Dan alhamdulillah, keluarga mereka jarang kekurangan, kelaparan, sungguh janji Allah itu pasti, barangsiapa yang menikah karena ingin menjaga kehormatan dan kemaluannya dan hanya ingin mengharapkan ridha Allah swt, maka yakinlah Allah akan menjadi penolong kita. Asalkan kita tidak malas-malasan, berpangku tangan, melainkan kita bekerja keras, selalu mencari rejeki yang halal untuk keluarga kita, pastilah Allah akan mencukupi kebutuhan hidup kita.

Kita disunnahkan untuk menyegerakan pernikahan, bukan tergesa-gesa ataupun terburu-buru, seperti contoh, seorang ikhwan sehabis mengikuti kajian tentang menikah dini, langsung ia minta tolong pada ustadz yang mengisi, ‘tadz, ana mau menikah, tolong carikan jodoh untuk ana’, wah..ini namanya tergesa-gesa, kurang perhitungan, dan bukan yang dimaksud dalam menyegerakan pernikahan itu. Tentunya kita harus memperhitungkan segalanya, mulai dari kesiapan mental, ruhiyah, menerima amanah, ekonomi, semua ini diperhitungan, tetapi bukan berarti jika semua itu belum siap menurut pandangan kita lantas kita selalu menunda-nunda pernikahan, menunda-nunda untuk melakukan sebuah kebaikan.

Pertimbangan lain tentang sekufu’, ada yang menganggap sekufu’ itu harus selevel pendidikannya, harus sama nasabnya, harus sederajat kedudukannya, kekayaannya, dan sungguh ini hanya akan mempersulit diri kalian sendiri untuk menikah. Pendapat yang paling kuat dari para ulama salafush shalih adalah sekufu’ dalam hal diinnya, agamanya. Dia haruslah sama akidahnya, sama-sama mengimani Allah dan Rasul saw. Sama-sama berakhlak baik, beriman dan bertakwa pada Allah swt.

Kemudian ada yang bertanya, bagaimana kalau berbeda manhaj? Kita tahu kalau manhaj adalah hal yang prinsip, tentunya kita harus lebih memikirkan bagaimana kalau calon yang datang kepada kita berbeda manhaj? Pertama yang harus kita tekankan adalah, sejauh calon itu berpegang pada al Qur’an dan as Sunnah dan memahaminya dengan pemahaman para salafush shalih, dan tidak membahayakan agama kita, maka tidak ada alasan ini menjadikan sebab kita menolaknya. Tapi bila itu sudah tidak sepaham lagi dalam memahami al Qur’an dan as Sunnah, kita yang ingin menghidupkan sunnah dalam rumah kita tetapi ia lebih suka menghidupkan bid’ah maka ini bisa menjadi alasan syar’i kita tidak menerimanya, karena tentu saja ini membahayakan agama kita.

Akhirnya, dengan menikah kita akan bisa melaksanakan diin ini secara kaffah, sebagaimana dalam firmanNya,

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS.2:208)

Kaffah (menyeluruh), tiada lain dengan menikah, kitapun tahu tahu bahwa hidup ini belum lengkap kalau kita belum menikah. Dimulai saat kita menikah maka akan banyak perubahan dalam hidup kita, mulai dari tanggung jawab pada diri sendiri, keluarga, orang tua, mertua, keluarga orang tua, keluarga mertua, itu tanggung jawab seorang pemimpin rumah tangga. Setelah menikah maka isteri menjadi tanggung jawab kita, dan bakti isteri pada orang tuanya menjadi tanggung jawab kita karena isteri sekarang taatnya pada seorang suami, bukan pada orang tua mereka lagi, maka sebagai seorang suami haruslah menjaga hubungan baik antara orang tua dan anaknya dan kerabat-kerabatnya.

Yaa ikhwah, sesuatu yang agung pastilah banyak kendala, halangan, aral melintang untuk menuju kesana, jangan jadikan ini sebagai pelemahmu untuk menuju kebaikan itu, tetapi jadikanlah ini sebagai cambuk hati untuk melecutkan semangat kita menunaikan kebaikan itu.

Lalu bagaimana usaha kita untuk membantu saudara-saudara kita yang mau menikah? Sebuah pertanyaan bagus, teman-teman di kajian ahad pagi masjid kampus UGM, berniat membuat lembaga yang mengurusi masalah ikhwan dan akhwat yang mau menikah, mulai dari mencarikan calon, menyediakan media perkenalan, bahkan menyediakan tempat untuk menikah lengkap dengan hidangannya. Ada usulan bagaimana kalau lembaga itu dinamakan Lajnah Sakinah? Sebuah usulan yang bagus. Menyusul ada seorang ikhwan yang sehabis kajian ahad pagi, begitu melihat seorang akhwat ditempat parkir masjid kampus UGM, meminta tolong pada panitia kajian ahad padi MasKam UGM, ‘akh, tolong ana dicarikan informasi jama’ah akhwat kajian ahad pagi yang motornya jenis X bernomor AB XXXX XX.’ Gleg, semangat banget ni ikhwan, sampai sebegitunya. Lha mau gimana lagi? Apa harus mengikuti kemana akhwat itu pulang, langsung meminang ke rumahnya? Wah..keberanian kalau ini, hehe…ya namanya usaha.

Pesan penulis, tiada lagi alasan bagi kita mau menikah tapi masih kuliah, mau menikah tapi belum punya pekerjaan tetap, mau menikah tapi takut punya anak, mau menikah takut masalah-masalah rumah tangga, mau menikah tapi belum mendapat ijin orang tua, mau menikah tapi belum ada biaya, mau menikah tapi..dan tapi…dan tapi…lalu…tapi kapan mau menikah? Menikah Tanpa Tapi menjadikan kita mukmin sejati, percaya deh ma pertolongan Allah, siapa lagi yang lebih menepatinya janjinya selain Allah?

Ayo…yang sudah punya calon jodoh segerakan menikah, jangan tapi-tapi terus, yang belum punya calon jodoh ayo usaha minta dicarikan, jangan pasrah saja. Jodoh tidak datang begitu saja,tapi menuntut usaha kita. Sungguh ridha Allah lebih dari segalanya daripada yang lainnya. Jangan kita menodai kesucian hati dengan wanita atau laki-laki yang notabene akan menikah dengan kita kelak, asyik berkomunikasi dengannya, ngobrol, diskusi bareng, malu dong kita memberikan cinta pada orang yang belum berhak. Ada seseorang kelak yang berhak menerima cinta kita, entah dibelahan bumi mana ia berada kita tidak tahu, tapi percayalah Allah telah menyediakan jodoh yang sesuai dengan kita. Jika baik kita baik dimata Allah, dekat denganNya, menjaga perintahNya dan menjauhi laranganNya, pastilah jodoh yang diberikanNya kelak juga baik dimata Allah, tetapi jangan harap Allah akan memberikan kita jodoh yang baik jika kita telah membuatNya marah, murka, menjauh dariNya dengan menodai kesucian hati, dengan berpacaran, melanggar apa yang dilarangNya, asyik ber sms an dengan yang bukan mahramnya, asyik ber YM dengan yang bukan mahramnya, dan yang sejenisnya, pastilah Allah murka dengan sikap kita.

Semoga ini menjadi amal baik penulis, sebagai bukti bahwa penulis telah menyeru pada kebaikan, semoga pahala ditetapkan atas penulis dan orang-orang yang mengambil kebaikan dengannya. Allaahumma aaamiin…

Setiap kebenaran dari goresan tangan penulis semata-mata dari Allah swt, dan apabila ada salahnya itu semata-mata dari kejahilan diri pribadi penulis.

Dan satu lagi, jangan pernah lupa mengingat Allah, dalam setiap keadaan dan tempat,

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS.3:191)

Salam, Azzam Akhukum Fillah.


0 komentar: